SETETES
NIRA DIANTARA PENGHIDUPAN DAN KESUKSESAN
Pagi
yang berselimutkan kabut yang tebal membungkus perbukitan dan
gunung yang tinggi, sinar mentaripun terasa sulit menembusnya hanya bisa
menunggu turunnya kabut tersebut yang
perlahan kian lama kian nampak dan
menyelinap diantara celah kabut yang tipis bagaikan pancaran kehidupan yang menerpa setiap dinding yang
kokoh. Suara – suara kicauan burung mulai membuka pagi yang sepi dan ngauhan
kerbau yang seakan pemberitanda kepada tuannya, nampaklah beberapa sosok orang
tengah berjalan menaiki bukit dengan bambu dibelakang punggungnya mereka
menyebar diantara perbukitan yang cukup luas dan sangat banyak ditumbuhi
pohon-pohonan yang rindang. Suatu daerah yang masih sangat memelihara arti dari
setiap kehidupan yang tumbuh dan berjalan di atas muka bumi ini.
Pagi
itu disebuah rumah yang berdindingkan anyaman bilik tercium aroma wangi yang
menyengat dengan kepulan asap di antara
tumpukan kayu-kayu kering, seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya tengah
memasak sebuah cairan yang pasti bukan air sembarang karena dari air ini akan
menghasilkan sesuatu yang sangat berharga bagi mereka, emak isah begitu
semangat dengan cutik kayunya mengaduk dengan sangat hati-hati cairan itu
sehingga kian lama kian menggumpal walaupun sesaat ia mengusap keningnya yang
dipenuhi keringat yang mengalir dengan hawa panas yang terasa diantara bara api
yang menyala ,tapi ia tetap semangat. Sedangkan asep anak laki-lakinya
menyiapkan cetakan seperti gelang-gelang yang terbuat dari bambu diatas plastik
,disinilah tahap perjuangan dan proses yang cukup lama . asep sudah nampak
menyiapkan semuanya ia akan bersiap kembali pergi ke kebun untuk melanjutkan
rutinitasnya setelah menyadap pohon aren dan mengambil air nira hasil
sadapannya itu ia akan bercocok tanam ,sedangkan ibunya akan mengolah air nira hingga menjadi gula sampai siap
untuk dijual. Siang itu terasa sangat panas terasa bagi asep yang tengah
membersihkan alang-alang dan rumput di kebun, beberapa saat kemudian ia
beristirahat di bawah pohon beringin dan menatap kearah perbukitan pandangannya tertuju kepada salah satu pohon
aren yang nampak menjulang tinggi dalam hatinya berkata “ pohon aren sangat tinggi sekali tapi sepertinya lengan buahnya sudah jadi aku
harus menyiapkan tangganya untuk bisa menggapainya untuk ku sadap” sesaat
setelah memalingkan pandang kearah pohon
tersebut asep melanjutkan kembali pekerjaannya ,siang bergulir dengan cepat
tidak terasa sore asep tengah bersiap membereskan pekerjaannya dan bersiap
menaiki pohon aren yang tadi pagi ia ambil airnya dan akan dipasang kembali
dengan bambu kosong sebagai wadah setiap
tetesan air nira tersebut, ia pun mendapatkan kembali air nira untuk dikumpulkan
di rumah dan dimasak. Setiap sehari asep harus menaiki pohon aren dua kali
yaitu pagi dan sore hari, setelah semua selesai asep pulang dengan membawa air
nira tersebut dan memikul seikat kayu bakar untuk bahan bakar esok pagi,
langkahnya yang perlahan menandakan rasa letih tapi buat dirinya hanya ini yang
ia bisa lakukan bersama emak untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan
mengucapkan syukur bahwa hari ini dia sudah mendapatkan kembali rejeki. Setelah
sampai dirumah asep segera menuangkan air nira yang hanya seperempat lodong
bambu (bambu yang dipotong ruasnya untuk penampungan air nira di sadapan) emak
nya tersenyum dan bersyukur sore ini kita masih diberikan rejeki oleh tuhan.
Beberapa saat kemudian emak isah hanya memanaskan air nira ini dan
mengangkatnya untuk pagi nanti disatukan dengan air nira jika ada, dan tidak
akan berasa asam. Malam yang semakin larut nampak lentera tempel menerangi
ruangan kamar asep yang terlihat asep tengah membuka sebuah buku-buku sekolahan
yang ia pandangi dan sesekali dilihat
kembali ,hatinya selalu berharap ia bisa kembali bersekolah untuk dapat meraih
apa yang ia harapkan . untuk saat ini asep tidak bisa berbuat apa2 hanya
berdo’a dan berusaha mencari lebih untuk dia dan ibunya yang hanya seorang diri
karena ayahnya sudah lama wafat. Segudang harapan ia tanamkan pada dirinya
dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat dia akan bisa . tak terasa waktu
semakin larut asep menyaksikan ibunya yang terbaring diatas dipan tanpa
alas seraut wajah penuh bersyukur
terpancar dari wajahnya, kian lama
aseppun mendapati rasa ngantuk yang sangat akhirnya
matanya menutup dan beristirahat.
Keesokan
harinya sepulang menyadap asep duduk sejenak melepas lelah yang memang cukup
jauh perjalanannya matanya melihat kearah ibunya yang sedang membungkus gula
dengan daun kelapa yang sudah kering dan ditata dengan rapihnya, emak isah
berkata kepada asep yang sedang duduk di
tepian tungku dan bara api “ sep… Alhamdulillah kita sudah punya beberapa gula
yang sudah siap dipasarkan kapan kamu akan pergi kepasar..?” asep duduk
mendekati ibunya dan berkata dengan penuh cinta kasih “ Alhamdulillah emak….
Kita masih dipercaya untuk menuai rejeki dari pohon aren ,,,insya allah
sebentar lagi asep akan pergi kepasar emak..!” emak isah menyiapkan tiga
bungkus gula untuk asep bawa kepasar, setelah semuanya siap asep pergi menuju
pasar yang jalannya lumayan jauh harus melewati beberpa kampung , perjalanan
yang cukup melelahkan hanya dengan tiga bungkus gula merah yang berharap bisa
cepat habis terjual dan mendapatkan kebutuhan untuk kesehariannya. Perjalanan
yang lumayan melelahkan itu ternyata membuahkan hasil sebelum asep sampai
kepasar di tengah perjalanan disalah satu kampung yang dilewatinya , gula
dagangannnya telah habis terjual . “Alhamdulillah ya allah hari ini kau balas
perjuanganku dengan rejeki yang kau berikan..” asep berkata dalam hatinya
seraya mengusapkan kedua telapak tangan ke mukanya. Hari semakin siang
perjalanannya sangat terasa panas sesekali asep beristirahat di antara
pepohonan yang bisa melindunginya dari panasnya matahari.
Setelah
sampai dirumah ibunya emak isah merasa heran karena asep lebih cepat pulang
daripada biasanya “ asep…kamu sudah pulang tumben secepat itu..?” sambil
memandang kearah asep yang tengah duduk dibale-bale rumah melepas lelah dan
meminum secangkir air putih ditangannya, asep menarik nafas panjang dan berkata
sedikit tertahan dengan nafasnya yang masih belum teratur “ al…alhamdulillah
emak… dagangan kita telah hab…bbis..terjual sebelum asep sampai kepasar..”
seraya asep mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan dan dua ribuan dari
saku celananya diberikan kepada emaknya , emak siti tersenyum dan bersyukur “
alhamdulilah ini rejeki kita anaku..emak
akan pergi dulu kewarung untuk membeli minyak lampu yang sudah habis dan
makanan” emak isah pergi menuju warung kampung yang sudah ia biasa membeli
bahkan mengutang ketika belum ada uang , asep memandang ke pelataran rumahnya
dan memandang kearah ibunya yang berjalan hatinya merasa sangat sedih tetapi ia
tetap bersyukur dengan apa yang ia
dapatkan ,hanya ada dalam tekadnya bahwa
ia harus lebih giat lagi bekerja untuk kehidupan yang lebih baik lagi. Setelah
beberapa saat istirahat asep teringat akan pohon aren yang ia pandangi di
tepian bukit yang memang pohon aren tumbuh di tanah milik pemerintah ia langsung
bersiap-siap pergi kembali ke kebun ditepian bukit untuk melihat apakah pohon
aren masih bisa dia sadap sebelum di
dahului oleh penduduk kampung yang memang diantaranya menggantungkan penghasilan dari menyadap
pohon – pohon aren tersebut, beberapa waktu kemudian asep telah
berada di bawah pohon aren yang cukup tinggi dan tua ia mendirikan tangganya yang biasa didaerah
jawa barat di sebut “SIGAY” (satu pohon bambu yang di tancapkan pijakannya kiri
dan kanan tanpa ada pegangan diantara kedua sisinya ) yang di tempelkan di
pohon aren dan di ikat, asep memandang keatas pohon aren hatinya sedikit ragu
apakah bisa ia mencapai lengan buah aren dengan ketinggian yang lebih daripada
biasanya, tapi tekad dan niatnya karena setiap tetes dari air ini sangat berharga baginya dan ibunya ia
langkahkan kaki menaiki sigay setapak demi setapak dengan sangat hati-hati yang akhirnya dengan
tekadnya ia dapat mencapainya lengan buah pohon aren yang masih muda dia gapai
dan dibersihkannya sedikit demi sedikit sebelum ia memuku-mukul diantara lengan
buah itu menggunakan pemukul kayu agar harapan air yang keluar akan banyak
setelah nanti di potong lengan buahnya itu, tradisi itu sudah sangat turun
temurun dari sejak dahulu sehingga akan terdengar sangat nyaring ketika
memuku-mukul pohon aren diantara lengan buahnya dan akan terdengar saling
bersahutan satu sama lainnya , sebuah tradisi yang memang jika tidak dilakukan
akan susah mendapatkan air nira tersebut unik tapi nyata, itulah sebuah tahap
awal proses yang sangat –sangat sulit dilakukan bagi yang belum terbiasa.
Setelah
merasa sudah bersih dari serat dan kotoran di lengan buah nira tersebut asep
mengikat bakal buah atau bisa dikatakan bunga pohon aren tersebut , setelah
semua dianggap beres asep turun kembali dan akan ia potong memulai penyadapan
menunggu sekitar beberapa hari yang setiap paginya harus di pukul-pukul
pohonnya diantara pergelangan tangan calon buahnya yang disebut “NINGGUR”
daerah Jawa Barat bilang . setelah itu asep menaiki kembali pohon nira yang
sudah disadap ia menggambil hasil
sadapan tadi pagi dan menggantinya dengan wadah dari bambu yang kosong yang
disebut “LODONG “ untuk daerah jawa barat namanya, ketika ia melihat isinya
asep bersyukur dan mengucapkan “Alhamdulillah..” walupun memang sekarang terasa
sudah mulai berkurang karena entah apa yang menyebabkannya yang pasti memang rejekinya
yang diberikan tuhan hanya ini yang diberikan. Hari demi hari terus dilewati
oleh asep dan emak isah begitujuga warga setempat yang mengeluhkan penghasilan
sadapan mereka menurun, bagi asep dan emak isah ia tak sepatah katapun mengeluh
dari yang didapatkannya menyadap pohon
aren tersebut. Dengan kondisi seperti ini banyak para penyadap kesulitan karena
penghidupannya sebagian besar dari penyadapan pohon aren, tak sedikit para
penduduk yang beralih profesi dari buruh bangunan sampai buruh dagang kekota
besar karena mereka sudah tidak sabar lagi , dengan kejadian ini banyak
pohon-pohon aren yang ditinggalkan penyadapnya karena sudah tidak bisa
diharapkan. Bagi asep ia selalu setia dengan apa yang ia dapatkan bahkan dia
ambil alih sadapannya di pohon aren yang ditinggalkan penyadapnya karena
beralaskan keluarnya sudah sangat sedikit, hampir puluhan pohon setiap harinya
asep menaiki ia kumpulkan setetes demi setetes dari pohon-pohon aren tanpa ada keluhan karena asep menyadari
kekurangannya dia sudah tidak punya apa-apalagi keahliannya hanya berkebun dan
menyadap.
Waktu
terus bergulir melewati semua yang terjadi asep seorang pemuda yang sangat berani
dan sabar untuk mendapatkan hasil yang baik tanpa ada putus asa dalam dirinya
ia jalani walupun sangat sulit terasa bagi ia dan emak siti, dengan kesabaran
mereka akhirnya tiba kembali masa air nira yang melimpah hingga asep sangat
kesulitan untuk mengolah bersama emaknya , para penyadap di kampung tersebut
kembali kepada pekerjaannya yang utama yaitu menyadap pohon aren. Kesabaran dan
ketekunan asep membuahkan hasil semua gula hasil olahan asep mendapatkan
pelanggan tetap dari sejak kesulitan mencari gula waktu itu yang masih tetap
bertahan hanyalah asep walaupun jika diperhitungkan dengan pengorbanannya lebih
besar dari pada hasilnya.
Kini
untuk asep dan emak isah sudah tidak pergi lagi kepasar jauh-jauh karena para
pelanggan tetapnya akan menjemput kerumah setiap lima hari sekali menjadi suatu
keberhasilan dan penghargaan dari tuhan yang ketika orang mengangap setetes air
nira dari satu pohon sudah tidak ada gunanya lagi tapi bagi asep setetes nira
sangat berguna sekali dan tidak akan dibiarkan terbuang begitu saja, dari
setets air nira jika dikumpulkan sekian puluh pohon akan mendapatkan sesuatu
yang cukup dan berkah dengan rasa bersyukurnya.
Malam
hari yang terasa dingin nampak emak siti dan asep duduk berdua selepas solat
magrib dan bercerita “ asep anaku.. apakah kamu masih ingin untuk melanjutkan
sekolah nak..?” Tanya emak siti seraya menepuk pundak anaknya , “ em..m jujur asep
memang sangat menginginkan itu emak ..tapi..untuk sekarang asep rasa harus
mengubur keinginan tersebut ,,!?” asep menundukan kepala “ asep… mengapa berkata seperti itu ..emak
harap jika memang sudah ada kemauan maka segeralah mendaftar..!?”..emak siti
memperjelas dukungannya , “ tapi….jika asep sekolah kembali siapa yang akan
membantu emak..?”
Asep
masih merasa berat memutuskan diantara dua sisi tersebut, “ asep jika kamu
yakin kamu masih tetap bisa bantu emak disini ,….. kebetulan emak sejak
duatahun yang lalu selalu menabung di bambu ini.” Emak siti mengambil sepotong
bambu yang terisi uang didalamnya yang
memang sudah disiapkan untuk tabungan sekolahnya asep. Asep sempat kaget dan
merasa haru ia langsung memeluk tubuh ibunya dengan linangan air mata , bahwa
begitu besar pengorbanan emak hanya untuk dirinya ia merasa belum bisa berarti
. akhirnya asep daftar sekolah melanjutkan kesekolah menegah atas (SMA) walupun
sudah telat dua tahun ia masih tetap semangat tanpa ada rasa malu untuk meraih
ilmu dan cita-cita, aktifitasya masih tetap asep jalankan walupun sudah
bersekolah pagi hari sebelum sekolah
asep akan segera menyadap pohon aren begitu juga sore hari karena sudah pualang
sekolah, ia merasa sangat bersyukur kepada tuhan karena perjalanan ia hingga
saat ini tak lepas dari setiap tetesan air nira yang selalu ia syukuri hingga
keinginannya dan cita-citanya sampai terwujud tanpa ada yang dikorbankan.
Darisetetes air nira ini menjadikan setiap penghidupan penuh berarti karena ini
anugrah tuhan yang diberikan dari
sebtang pohon yang tidak menarik dilihat tapi mengeluarkan permata yang jernih
setiap tetesnya . akhir cerita disebuah negeri ini yang tak jauh dari kehidupan
nyata diantara pedesaan yang mayoritasnya menyadap pohon aren bisa mendapatkan penghidupan yang baik dengan
ketekunan dan kesabaran yang mereka miliki.
TAMAT