Friday, November 23, 2012


SETETES NIRA DIANTARA PENGHIDUPAN DAN KESUKSESAN

Pagi yang  berselimutkan  kabut yang tebal membungkus perbukitan dan gunung yang tinggi, sinar mentaripun terasa sulit menembusnya hanya bisa menunggu turunnya kabut tersebut  yang perlahan  kian lama kian nampak dan menyelinap diantara celah kabut yang tipis bagaikan pancaran  kehidupan yang menerpa setiap dinding yang kokoh. Suara – suara kicauan burung mulai membuka pagi yang sepi dan ngauhan kerbau yang seakan pemberitanda kepada tuannya, nampaklah beberapa sosok orang tengah berjalan menaiki bukit dengan bambu dibelakang punggungnya mereka menyebar diantara perbukitan yang cukup luas dan sangat banyak ditumbuhi pohon-pohonan yang rindang. Suatu daerah yang masih sangat memelihara arti dari setiap kehidupan  yang  tumbuh dan berjalan  di atas muka bumi ini.

Pagi itu disebuah rumah yang berdindingkan anyaman bilik tercium aroma wangi yang menyengat  dengan kepulan asap di antara tumpukan kayu-kayu kering, seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya tengah memasak sebuah cairan yang pasti bukan air sembarang karena dari air ini akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga bagi mereka, emak isah begitu semangat dengan cutik kayunya mengaduk dengan sangat hati-hati cairan itu sehingga kian lama kian menggumpal walaupun sesaat ia mengusap keningnya yang dipenuhi keringat yang mengalir dengan hawa panas yang terasa diantara bara api yang menyala ,tapi ia tetap semangat. Sedangkan asep anak laki-lakinya menyiapkan cetakan seperti gelang-gelang yang terbuat dari bambu diatas plastik ,disinilah tahap perjuangan dan proses yang cukup lama . asep sudah nampak menyiapkan semuanya ia akan bersiap kembali pergi ke kebun untuk melanjutkan rutinitasnya setelah menyadap pohon aren dan mengambil air nira hasil sadapannya itu ia akan bercocok tanam ,sedangkan ibunya akan mengolah  air nira hingga menjadi gula sampai siap untuk dijual. Siang itu terasa sangat panas terasa bagi asep yang tengah membersihkan alang-alang dan rumput di kebun, beberapa saat kemudian ia beristirahat di bawah pohon beringin dan menatap kearah perbukitan  pandangannya tertuju kepada salah satu pohon aren yang nampak menjulang tinggi dalam hatinya berkata “ pohon aren  sangat tinggi sekali  tapi sepertinya lengan buahnya sudah jadi aku harus menyiapkan tangganya untuk bisa menggapainya untuk ku sadap” sesaat setelah memalingkan pandang kearah  pohon tersebut asep melanjutkan kembali pekerjaannya ,siang bergulir dengan cepat tidak terasa sore asep tengah bersiap membereskan pekerjaannya dan bersiap menaiki pohon aren yang tadi pagi ia ambil airnya dan akan dipasang kembali dengan bambu  kosong sebagai wadah setiap tetesan air nira tersebut, ia pun mendapatkan kembali air nira untuk dikumpulkan di rumah dan dimasak. Setiap sehari asep harus menaiki pohon aren dua kali yaitu pagi dan sore hari, setelah semua selesai asep pulang dengan membawa air nira tersebut dan memikul seikat kayu bakar untuk bahan bakar esok pagi, langkahnya yang perlahan menandakan rasa letih tapi buat dirinya hanya ini yang ia bisa lakukan bersama emak untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan mengucapkan syukur bahwa hari ini dia sudah mendapatkan kembali rejeki. Setelah sampai dirumah asep segera menuangkan air nira yang hanya seperempat lodong bambu (bambu yang dipotong ruasnya untuk penampungan air nira di sadapan) emak nya tersenyum dan bersyukur sore ini kita masih diberikan rejeki oleh tuhan. Beberapa saat kemudian emak isah hanya memanaskan air nira ini dan mengangkatnya untuk pagi nanti disatukan dengan air nira jika ada, dan tidak akan berasa asam. Malam yang semakin larut nampak lentera tempel menerangi ruangan kamar asep yang terlihat asep tengah membuka sebuah buku-buku sekolahan yang ia pandangi dan sesekali  dilihat kembali ,hatinya selalu berharap ia bisa kembali bersekolah untuk dapat meraih apa yang ia harapkan . untuk saat ini asep tidak bisa berbuat apa2 hanya berdo’a dan berusaha mencari lebih untuk dia dan ibunya yang hanya seorang diri karena ayahnya sudah lama wafat.   Segudang harapan ia tanamkan pada dirinya dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat dia akan bisa . tak terasa waktu semakin larut asep menyaksikan ibunya yang terbaring diatas dipan tanpa alas  seraut wajah penuh bersyukur terpancar dari wajahnya, kian lama  aseppun mendapati rasa ngantuk yang sangat  akhirnya  matanya menutup dan beristirahat.

Keesokan harinya sepulang menyadap asep duduk sejenak melepas lelah yang memang cukup jauh perjalanannya matanya melihat kearah ibunya yang sedang membungkus gula dengan daun kelapa yang sudah kering dan ditata dengan rapihnya, emak isah berkata  kepada asep yang sedang duduk di tepian tungku dan bara api “ sep… Alhamdulillah kita sudah punya beberapa gula yang sudah siap dipasarkan kapan kamu akan pergi kepasar..?” asep duduk mendekati ibunya dan berkata dengan penuh cinta kasih “ Alhamdulillah emak…. Kita masih dipercaya untuk menuai rejeki dari pohon aren ,,,insya allah sebentar lagi asep akan pergi kepasar emak..!” emak isah menyiapkan tiga bungkus gula untuk asep bawa kepasar, setelah semuanya siap asep pergi menuju pasar yang jalannya lumayan jauh harus melewati beberpa kampung , perjalanan yang cukup melelahkan hanya dengan tiga bungkus gula merah yang berharap bisa cepat habis terjual dan mendapatkan kebutuhan untuk kesehariannya. Perjalanan yang lumayan melelahkan itu ternyata membuahkan hasil sebelum asep sampai kepasar di tengah perjalanan disalah satu kampung yang dilewatinya , gula dagangannnya telah habis terjual . “Alhamdulillah ya allah hari ini kau balas perjuanganku dengan rejeki yang kau berikan..” asep berkata dalam hatinya seraya mengusapkan kedua telapak tangan ke mukanya. Hari semakin siang perjalanannya sangat terasa panas sesekali asep beristirahat di antara pepohonan yang bisa melindunginya dari panasnya matahari.

Setelah sampai dirumah ibunya emak isah merasa heran karena asep lebih cepat pulang daripada biasanya “ asep…kamu sudah pulang tumben secepat itu..?” sambil memandang kearah asep yang tengah duduk dibale-bale rumah melepas lelah dan meminum secangkir air putih ditangannya, asep menarik nafas panjang dan berkata sedikit tertahan dengan nafasnya yang masih belum teratur “ al…alhamdulillah emak… dagangan kita telah hab…bbis..terjual sebelum asep sampai kepasar..” seraya asep mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan dan dua ribuan dari saku celananya diberikan kepada emaknya , emak siti tersenyum dan bersyukur “ alhamdulilah  ini rejeki kita anaku..emak akan pergi dulu kewarung untuk membeli minyak lampu yang sudah habis dan makanan” emak isah pergi menuju warung kampung yang sudah ia biasa membeli bahkan mengutang ketika belum ada uang , asep memandang ke pelataran rumahnya dan memandang kearah ibunya yang berjalan hatinya merasa sangat sedih tetapi ia tetap bersyukur dengan apa yang  ia dapatkan ,hanya ada dalam tekadnya  bahwa ia harus lebih giat lagi bekerja untuk kehidupan yang lebih baik lagi. Setelah beberapa saat istirahat asep teringat akan pohon aren yang ia pandangi di tepian bukit yang memang pohon aren  tumbuh di tanah milik pemerintah ia langsung bersiap-siap pergi kembali ke kebun ditepian bukit untuk melihat apakah pohon aren  masih bisa dia sadap sebelum di dahului oleh penduduk kampung yang memang diantaranya  menggantungkan penghasilan dari menyadap pohon – pohon  aren  tersebut, beberapa waktu kemudian asep telah berada di bawah pohon aren  yang  cukup tinggi dan tua  ia mendirikan tangganya yang biasa didaerah jawa barat di sebut “SIGAY” (satu pohon bambu yang di tancapkan pijakannya kiri dan kanan tanpa ada pegangan diantara kedua sisinya ) yang di tempelkan di pohon aren dan di ikat, asep memandang keatas pohon aren hatinya sedikit ragu apakah bisa ia mencapai lengan buah aren dengan ketinggian yang lebih daripada biasanya, tapi tekad dan niatnya karena setiap tetes dari air  ini sangat berharga baginya dan ibunya ia langkahkan kaki menaiki sigay setapak demi setapak  dengan sangat hati-hati yang akhirnya dengan tekadnya ia dapat mencapainya lengan buah pohon aren yang masih muda dia gapai dan dibersihkannya sedikit demi sedikit sebelum ia memuku-mukul diantara lengan buah itu menggunakan pemukul kayu agar harapan air yang keluar akan banyak setelah nanti di potong lengan buahnya itu, tradisi itu sudah sangat turun temurun dari sejak dahulu sehingga akan terdengar sangat nyaring ketika memuku-mukul pohon aren diantara lengan buahnya dan akan terdengar saling bersahutan satu sama lainnya , sebuah tradisi yang memang jika tidak dilakukan akan susah mendapatkan air nira tersebut unik tapi nyata, itulah sebuah tahap awal proses yang sangat –sangat sulit dilakukan bagi yang belum terbiasa.

Setelah merasa sudah bersih dari serat dan kotoran di lengan buah nira tersebut asep mengikat bakal buah atau bisa dikatakan bunga pohon aren tersebut , setelah semua dianggap beres asep turun kembali dan akan ia potong memulai penyadapan menunggu sekitar beberapa hari yang setiap paginya harus di pukul-pukul pohonnya diantara pergelangan tangan calon buahnya yang disebut “NINGGUR” daerah Jawa Barat bilang . setelah itu asep menaiki kembali pohon nira yang sudah disadap   ia menggambil hasil sadapan tadi pagi dan menggantinya dengan wadah dari bambu yang kosong yang disebut “LODONG “ untuk daerah jawa barat namanya, ketika ia melihat isinya asep bersyukur dan mengucapkan “Alhamdulillah..” walupun memang sekarang terasa sudah mulai berkurang karena entah apa yang  menyebabkannya yang pasti memang rejekinya yang diberikan tuhan hanya ini yang diberikan. Hari demi hari terus dilewati oleh asep dan emak isah begitujuga warga setempat yang mengeluhkan penghasilan sadapan mereka menurun, bagi asep dan emak isah ia tak sepatah katapun mengeluh dari yang didapatkannya  menyadap pohon aren tersebut. Dengan kondisi seperti ini banyak para penyadap kesulitan karena penghidupannya sebagian besar dari penyadapan pohon aren, tak sedikit para penduduk yang beralih profesi dari buruh bangunan sampai buruh dagang kekota besar karena mereka sudah tidak sabar lagi , dengan kejadian ini banyak pohon-pohon aren yang ditinggalkan penyadapnya karena sudah tidak bisa diharapkan. Bagi asep ia selalu setia dengan apa yang ia dapatkan bahkan dia ambil alih sadapannya di pohon aren yang ditinggalkan penyadapnya karena beralaskan keluarnya sudah sangat sedikit, hampir puluhan pohon setiap harinya asep menaiki ia kumpulkan setetes demi setetes dari pohon-pohon aren  tanpa ada keluhan karena asep menyadari kekurangannya dia sudah tidak punya apa-apalagi keahliannya hanya berkebun dan menyadap.

Waktu terus bergulir melewati semua yang terjadi asep seorang pemuda yang sangat berani dan sabar untuk mendapatkan hasil yang baik tanpa ada putus asa dalam dirinya ia jalani walupun sangat sulit terasa bagi ia dan emak siti, dengan kesabaran mereka akhirnya tiba kembali masa air nira yang melimpah hingga asep sangat kesulitan untuk mengolah bersama emaknya , para penyadap di kampung tersebut kembali kepada pekerjaannya yang utama yaitu menyadap pohon aren. Kesabaran dan ketekunan asep membuahkan hasil semua gula hasil olahan asep mendapatkan pelanggan tetap dari sejak kesulitan mencari gula waktu itu yang masih tetap bertahan hanyalah asep walaupun jika diperhitungkan dengan pengorbanannya lebih besar dari pada hasilnya.

Kini untuk asep dan emak isah sudah tidak pergi lagi kepasar jauh-jauh karena para pelanggan tetapnya akan menjemput kerumah setiap lima hari sekali menjadi suatu keberhasilan dan penghargaan dari tuhan yang ketika orang mengangap setetes air nira dari satu pohon sudah tidak ada gunanya lagi tapi bagi asep setetes nira sangat berguna sekali dan tidak akan dibiarkan terbuang begitu saja, dari setets air nira jika dikumpulkan sekian puluh pohon akan mendapatkan sesuatu yang cukup dan berkah dengan rasa bersyukurnya.

Malam hari yang terasa dingin nampak emak siti dan asep duduk berdua selepas solat magrib dan bercerita “ asep anaku.. apakah kamu masih ingin untuk melanjutkan sekolah nak..?” Tanya emak siti seraya menepuk pundak anaknya , “ em..m jujur asep memang sangat menginginkan itu emak ..tapi..untuk sekarang asep rasa harus mengubur keinginan tersebut ,,!?” asep menundukan kepala  “ asep… mengapa berkata seperti itu ..emak harap jika memang sudah ada kemauan maka segeralah mendaftar..!?”..emak siti memperjelas dukungannya , “ tapi….jika asep sekolah kembali siapa yang akan membantu emak..?”

Asep masih merasa berat memutuskan diantara dua sisi tersebut, “ asep jika kamu yakin kamu masih tetap bisa bantu emak disini ,….. kebetulan emak sejak duatahun yang lalu selalu menabung di bambu ini.” Emak siti mengambil sepotong bambu  yang terisi uang didalamnya yang memang sudah disiapkan untuk tabungan sekolahnya asep. Asep sempat kaget dan merasa haru ia langsung memeluk tubuh ibunya dengan linangan air mata , bahwa begitu besar pengorbanan emak hanya untuk dirinya ia merasa belum bisa berarti . akhirnya asep daftar sekolah melanjutkan kesekolah menegah atas (SMA) walupun sudah telat dua tahun ia masih tetap semangat tanpa ada rasa malu untuk meraih ilmu dan cita-cita, aktifitasya masih tetap asep jalankan walupun sudah bersekolah  pagi hari sebelum sekolah asep akan segera menyadap pohon aren begitu juga sore hari karena sudah pualang sekolah, ia merasa sangat bersyukur kepada tuhan karena perjalanan ia hingga saat ini tak lepas dari setiap tetesan air nira yang selalu ia syukuri hingga keinginannya dan cita-citanya sampai terwujud tanpa ada yang dikorbankan. Darisetetes air nira ini menjadikan setiap penghidupan penuh berarti karena ini anugrah  tuhan yang diberikan dari sebtang pohon yang tidak menarik dilihat tapi mengeluarkan permata yang jernih setiap tetesnya . akhir cerita disebuah negeri ini yang tak jauh dari kehidupan nyata diantara pedesaan yang mayoritasnya menyadap pohon aren  bisa mendapatkan penghidupan yang baik dengan ketekunan dan kesabaran yang mereka miliki.

 

TAMAT

No comments:

Post a Comment

komentar anda: